Nasional

Sekelumit Pesan Nuzulul Quran: “Membaca”

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)

Di antara keistimewaan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Tepatnya pada malam 17 di bulan yang penuh nikmat, ampunan, dan berkah. Umat Islam memperingatinya sebagai malam Nuzulul Qur’an, sebagai ritus keagamaan untuk mendapatkan beribu keutamaan.

"Bulan ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)."(Al-Baqarah:185).

Ada enam ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang Nuzulul Qur’an. QS. Al-Baqarah: 185, Al-Anfal:41, Al-'Alaq:1-5, Al-Qadr: 1,3, dan 4; Al-Dukhan:3, dan QS. Asy-Syu'ara':193. Tentu dilengkapi dengan hadis-hadis Nabi yang menggambarkan dengan sangat baik Ramadan dan Nuzulul Qur’an.

Di antara enam ayat yang secara sharih memerintahkan umat Muhammad Saw untuk membaca adalah surat Al-'Alaq ayat 1-5, yang merupakan ayat yang pertama kali turun. "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Lc., M.A menerangkan bahwa kata iqra, pada ayat pertama surat Al-‘Alaq, diambil dari akar kata yang artinya menghimpun. Arti tersebut kemudian melahirkan beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis atau tidak tertulis.

Al-Qur’an menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan. Karena wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak menjelaskan apa yang harus dibaca. Demikian dikatakan oleh banyak mufassir.

Membaca bisa berkaitan dengan ayat-ayat yang qauliyah dan ayat-ayat yang kauniyah; tekstual dan kontekstual; tertulis dan tidak tertulis; hal-hal yang tersurat maupun yang tersirat.

Membaca juga bisa dipahami membaca ayat-ayat atau hal-hal yang terkait dengan alam dan segala macam yang ada di dalamnya (ayat-ayat yang kauniyah). Hal yang tersirat, tersembunyi, dan fenomena-fenomena kehidupan secara luas.

Pertanyaannya adalah sudah kah kita sebagai umat Muhammad yang diperintahkan iqra, mampu merefleksikan diri akan pesan-pesan membaca dalam peristiwa Nuzulul Qur’an? Dan mentradisikan membaca untuk memahamai makna kehidupan?

***
Dalam sebuah perkuliahan, seorang mahasiswa ditanya oleh dosennya: “Apakah Anda semua sebagai intelektual, sudah memulai membiasakan diri dengan tradisi membaca?”. Seorang mahasiswa mengacungkan jari, dan menjawab: “Iya Pak dosen, saya sudah membiasakan membaca terutama membaca pesan-pesan whatsap”. Disampaikan dengan nada serus tanpa ekspresi tawa sedikit pun.

Jawaban mahasiswa itu tentu tidak salah, tetapi apakah membaca hanya seperti itu, yang tidak akan mengubah mentalitas menjadi pribadi yang berkualitas? Bukan lagi membaca buku berjilid dengan teori-teori yang sangat serius. Membaca kitab dengan deretan dan kata yang mendatangkan hikmah untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Pada saat yang sama, membaca fenomena alam dengan seabreg keagungan Tuhan. Matahari, rembulan, malam, siang, gugusan bintang-bintang dan fenomena alam yang kompleks. Kemudian menggerakan akal pikir manusia untuk menemukan berbagai inovasi sains. Misalnya membaca pemikiran ilmuwan sosial, yang mengamati fenomena struktur masyarakat yang berubah. Kelompok millenial, kelas menengah dan juga kelompok urban yang saling berkelindan, membutuhkan bacaan kritis, untuk mengatasi problematikanya.

Joseph Addison (1672–1719) pernah mengatakan, membaca adalah alat paling dasar untuk meraih hidup yang baik. Sementara Voltaire Filosof dari Perancis mengatakan makin aku banyak membaca, makin aku banyak berpikir; makin aku banyak belajar, makin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun.

Rene Descartes mengatakan bahwa: “membaca semua buku yang bagus layaknya sebuah percakapan dengan pemikiran terbaik di abad-abad sebelumnya”. Demikian membaca, akan membuat kesadaran untuk berubah dan mengisi nilai-nilai kehidupan.

Budaya membaca dalam masyarakat Indonesia, nampaknya harus terus ditingkatkan sebagai ruh dari iqra. Jika kita melihat skor literasi membaca di Indonesia hanya sebesar 359 poin pada tahun 2022. Capaian ini tercatat lebih rendah, dibanding tahun 2018 yang memiliki skor 371 poin. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, skor literasi membaca Indonesia juga lebih rendah dibandingkan capaian pada tahun 2000.

Nuzulul Qur’an harus masuk dalam kesadaran terdalam batin kita. Kita memiliki tradisi teks yang tinggi, untuk membaca dan terus membaca. Menelaah, mendalami, dan meneliti, apa yang dilihat, di dengar dan dirasa, menjadi sebuah ilmu pengetahuan.

Tradisi baik yang telah diajarkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’in tabi’in sampai kepada para intelektual muslim di masa kejayaan, harus mampu diwariskan kepada generasi sekarang. Kemajuan teknologi informasi, mestinya menjadi pendorong, agar generasi millennial semakin tercerahkan. Cerdas dan kritis membaca fenomena-fenomena dan tanda-tanda zaman.

“Membaca” adalah sekelumit pesan dari Nuzulul Qur’an, dari berjibun pesan-pesan yang dapat digali. Semoga bermanfaat untuk menciptakan kesadaran membaca sebagai tradisi baik generasi millennial. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua